Kamis, 12 Maret 2009

Gerombolan Semut

Kurang lebih 2 minggu kemarin, aku lihat cara semut membawa sisa makanan. Bagi orang lain mungkin ini hanyalah buang-buang waktu saja, tetapi menurutku hal ini sangat menarik. Berpuluh-puluh semut mengangkat barang yang melebihi berat badannya sendiri menaiki dinding untuk kemudian turun lagi dan pada akhirnya bersusah payah memasukannya ke dalam sarangnya. Sebagai manusia yang katanya makhluk paling berakal yang hidup di bumi, melihat semut (yang kita anggap gak punya otak) membawa muatannya justru malah menjadi menarik.

Apa yang paling menarik dari perbuatan semut itu? Sebuah KERJA SAMA. Mereka membawa potongan ikan yang memanjang untuk di gotong ramai-ramai ke sarangnya. Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana mereka membawa potongan itu tanpa berhenti, berjalan terus menerus tanpa mengenal lelah. Karena bentuknya yang memanjang, dapat terlihat dengan jelas bagaimana mereka melakukan rotasi pergantian posisi. Benda itu dibawa secara vertikal untuk kemudian mereka bergantian siapa yang di posisi bawah. Jujur saja dengan melihat bentuk tubuh semut yang sangat kecil, kecepatan mereka berganti posisi sangat mengagumkan. Mereka terus berjalan tanpa berhenti untuk melakukan perpindahan posisi tersebut.

Sebenarnya yang paling kutunggu adalah bagaimana mereka melewati tepian dinding. Tanpa aba-aba, mereka seolah-olah sudah tahu di mana dinding itu bertepi untuk kemudian mendatarkan barang bawaannya tersebut. Tepian dinding itu seolah-olah bukan halangan bagi mereka dan dilewati dengan begitu mudahnya.

Keterbatasan bukanlah hal yang paling menakutkan di dunia ini. Kesulitan bukanlah momok yang harus dihindari. Sebuah gotong royong dapat mengalahkan semua itu. Tapi yang paling menyedihkan, manusia yang menganggap sebagai makhluk paling sempurna, justru akan saling menyalahkan pada saat krisis. Oh andaikan semut tahu, paling mereka tertawa melihat 'terlalu' pintarnya manusia.

Aku jadi teringat waktu kecilku dulu. Sebagai manusia yang sudah pernah melihat alat-alat untuk membuat gedung bertingkat, alangkah primitifnya kami dulu. Pada saat itu rumah masih banyak yang terbuat dari kayu. Dan dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang bernama gedeg ato gedek (gak tahu nulisnya kaya apa :D). Waktu itu saya masih belum SD, tapi saya ingat bagaimana 'boyongan' rumah tempo dulu. Karena dindingnya bukan semen, anyaman bambunya bisa dilepas terlebih dahulu. Setelah dilepas maka yang tersisa adalah tiang-tiang penyangga rumah tersebut bersama atapnya. Oh alangkah portabelnya rumah jaman dulu :D.

Rumah tersebut mau digeser kurang lebih 10 meter dari posisi awalnya. Makanya proses 'boyongan' tersebut dimulai. Karena tidak memiliki teknologi, maka dikumpulkanlah tetangga-tetangganya untuk membantunya. Orang-orang pada berkumpul di sekitar tiang-tiang penyangga rumah. Dengan hati-hati mereka mengangkat tiang-tiang tersebut agar atapnya tidak roboh. Keseimbangan merupakan hal yang penting agar posisi tiang-tiang itu tetap sama. Hanya bermodalkan keringat, tanpa teknologi yang canggih, boyongan rumah tersebut pun sukses terlaksana. Biayanya pun hanyalah memberi makan pada para tetangganya dan teh pahit. Dan semua yang di situ pun terlihat gembira, saling bercanda.

Dan kemanakah perginya rasa 'gotong royong' tersebut? Hilangkah ditelan mesin yang meraung-raung? Saat lesung penumbuk padi telah tinggal kenangan, kemanakah perginya waktu yang biasanya digunakan untuk menumbuk padi? Manusia menginginkan hal yang lebih cepat, tetapi untuk apa kecepatan itu? Toh pada akhirnya ada juga yang bingung sendiri untuk menghabiskan waktu sisa dari kecepatan tersebut. Selain itu, hilanglah waktu untuk saling tolong menolong itu menjadi waktu untuk saling menggunjing atau bermalas-malasan di depan TV.

Kembali ke gerombolan semut, mungkin dalam keterbatasanlah manusia akan kembali melihat ke manusia lain. Dalam ketidakberdayaan mereka akan saling berpegangan tangan, meminjamkan pundak untuk tempat menangis bukannya saling berkompetisi utnuk hal-hal remeh temeh. Apakah banjir, tsunami dan bencana yang lain merupakan teguran dari Tuhan? Teguran dari Tuhan agar manusia saling membantu, saling bekerja sama bukannya saling menginjak? Lihatlah saat ada bencana, orang yang biasanya saling bermusuhan pun bisa menjadi seolah-olah tidak ada apa-apa di antara mereka.








Same Goods, Different Value

Seekor anjing yang jadi rebutan gono gini hingga sampai di persidangan, sebuah surat wasiat untuk menguburkan dia bersama ipodnya saat ajal menjemput atau bahkan perawatan kucing yang tidak kalah mahal dengan salon untuk manusia. Pada akhirnya barang bukanlah lagi dinilai dengan nilai barang tersebut, tetapi bergantung pada nilai imajiner, nilai abstrak yang ada di kepala sang pemiliknya.

Nilai yang sama akan memiliki arti yang lain bergantung pada siapa yang menilai. Apakah arti Rp. 50.000,- bagi para koruptor? akankah sama artinya bagi seorang buruh harian? akankah sama dengan cara tukang becak menilainya? dengan seorang PNS? dengan seorang petani? dengan seorang pedagang kelas pasar tradisional? Sebuah uang dengan kemampuan beli yang tetap, namun berbeda-beda penafsirannya. Berbeda bagi para pengusaha dengan buruhnya. Pejabat dengan rakyatnya. Jadi apakah arti uang 50 ribu? Antara aku dan kamu pun bisa berbeda arti.

Bahkan nilai yang sama dengan orang yang sama pun dalam kehidupan akan berganti-ganti nilainya. Apakah arti uang Rp. 20.000 di supermarket? dan berapa nilainya sekarang saat di depan kotak sumbangan? berapa nilainya saat di depan pengamen jalanan? berapa nilainya saat di restoran cepat saji? di warung tegal? di rumah makan padang? atau bahkan di restoran oriental?

Air putih yang tak berasa, apakah artinya saat kita di rumah? berapakah nilainya saat ia dihidangkan bersama minuman berkarbonasi? minuman kaleng? minuman botol? adakah ia bernilai? dan berapakah nilainya saat anda berlari-lari di tengah terik matahari? atau di tengah gurun pasir tanpa peradaban? tetapkah ia tidak memiliki nilai?

Dan anda bisa bertanya tentang nilai-nilai barang di sekitar anda, tentang artinya terhadap kehidupan anda. Tidak usah mendengarkan pendapat orang tentang nilai barang tersebut, tapi tanyakan pada diri anda sendiri. Bagaimana kenangan akan membuat benda-benda itu akan menjadi sangat berharga walaupun orang tidak menganggapnya. Pada akhirnya, nilai segala sesuatu tergantung pada diri kita sendiri menilainya. Tergantung pada pemikiran abstrak kita mengenai barang tersebut. Dan ingatlah, kenangan adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang berapa pun. Kenangan itu tidak akan bisa dihilangkan atau bahkan dibuat dengan uang 1 trilyun sekalipun.

Selasa, 03 Maret 2009

Hujan dan Kemarau

Sudah mau berakhirkah musim hujan? kalo gak salah, pas SD dulu musim hujan itu dari bulan oktober sampai maret. Maret berakhir, akankah hujan berakhir juga? Bagi anda yang tukang complain siap-siap aja ganti gerutuannya. Jika biasanya anda menggerutu, 'duh kok ujan sih, padahal kan mau ke.....', 'ujan lagi, ujan lagi, jadi gak bisa main aja !!!' dan gerutuan lain yang membuat seolah-olah hujan itu musibah aja. Bersiap-siaplah anda menggerutu, 'uh panasnya minta ampun deh, jadi males keluar rumah', 'uh debu kok beterbangan sih, bikin kotor aja' dan gerutuan2 lain yang membuat musim kemarau tidak lebih baik dari musim hujan.

Kalo musim hujan nggak enak, musim kemarau juga tidak, terus musim apa yang enak? Jangan jawab musim durian ya, it's OOT :D. Kenapa sih manusia kebanyakan menjadi tukang protes sama cuaca? Hujan salah, kemarau juga salah, terus maunya musim apa?

Bukankah kita sebagai manusia, yang katanya makhluk paling sempurna, seharusnya bisa beradaptasi dengan segala cuaca? Kenapa sih yang dipikirkan hal2 yang buruk saja tentang musim? Bukankah setiap musim dapat kita kendalikan menjadi sesuatu yang menyenangkan?

Bayangkanlah anda menikmati kopi hangat, susu hangat atau apapun minuman kesukaan anda yang hangat, setelah anda kehujanan. Bukankah musim hujan itu enak? Atau lihatlah langit yang begitu bersihnya setelah hujan? Bukankah itu indah?

Bayangkanlah anda meminum es jeruk, es teh ataupun apapun minuman dingin kesukaan anda pada saat hari terasa panas? Bukankah kemarau juga bisa menghadirkan kesegaran? Dan lihatlah matahari yang terbit atau tenggelam, bukankah itu sesuatu yang indah?

Sebagai manusia yang dilengkapi dengan akal, masa kalah sih kemampuan adaptasinya dengan hewan. Manusia bisa membuat payung, mantel, pakaian musim dingin atau musim panas, sedangkan hewan tidak. Manusia harusnya lebih kuat menghadapi perubahan cuaca.

Nikmatilah bergantinya cuaca dengan seenak-enaknya. Kalo anda membayangkan es di musim hujan dan membayangkan minum jahe di siang hari pada saat kemarau tentu sangat tidak enak. Tapi ingatlah, musim membawa kenikmatan tersendiri jika kita mau menanggapinya dengan baik dan tidak memikirkan kejelekannya. Jangan salahkan musim kemarau saat keringat anda begitu deras, tapi cobalah untuk salahkan diri anda yang panas-panas memaksakan diri memakai jaket :D. Jangan salahkan hujan yang membuat anda begitu bosan menunggunya reda, tapi salahkan diri anda yang tidak membawa payung. Bukankah ada ungkapan, 'sedia payung sebelum hujan' atau kah seharusnya diganti 'sedia umpatan sebelum hujan'?