Kamis, 12 Maret 2009

Gerombolan Semut

Kurang lebih 2 minggu kemarin, aku lihat cara semut membawa sisa makanan. Bagi orang lain mungkin ini hanyalah buang-buang waktu saja, tetapi menurutku hal ini sangat menarik. Berpuluh-puluh semut mengangkat barang yang melebihi berat badannya sendiri menaiki dinding untuk kemudian turun lagi dan pada akhirnya bersusah payah memasukannya ke dalam sarangnya. Sebagai manusia yang katanya makhluk paling berakal yang hidup di bumi, melihat semut (yang kita anggap gak punya otak) membawa muatannya justru malah menjadi menarik.

Apa yang paling menarik dari perbuatan semut itu? Sebuah KERJA SAMA. Mereka membawa potongan ikan yang memanjang untuk di gotong ramai-ramai ke sarangnya. Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana mereka membawa potongan itu tanpa berhenti, berjalan terus menerus tanpa mengenal lelah. Karena bentuknya yang memanjang, dapat terlihat dengan jelas bagaimana mereka melakukan rotasi pergantian posisi. Benda itu dibawa secara vertikal untuk kemudian mereka bergantian siapa yang di posisi bawah. Jujur saja dengan melihat bentuk tubuh semut yang sangat kecil, kecepatan mereka berganti posisi sangat mengagumkan. Mereka terus berjalan tanpa berhenti untuk melakukan perpindahan posisi tersebut.

Sebenarnya yang paling kutunggu adalah bagaimana mereka melewati tepian dinding. Tanpa aba-aba, mereka seolah-olah sudah tahu di mana dinding itu bertepi untuk kemudian mendatarkan barang bawaannya tersebut. Tepian dinding itu seolah-olah bukan halangan bagi mereka dan dilewati dengan begitu mudahnya.

Keterbatasan bukanlah hal yang paling menakutkan di dunia ini. Kesulitan bukanlah momok yang harus dihindari. Sebuah gotong royong dapat mengalahkan semua itu. Tapi yang paling menyedihkan, manusia yang menganggap sebagai makhluk paling sempurna, justru akan saling menyalahkan pada saat krisis. Oh andaikan semut tahu, paling mereka tertawa melihat 'terlalu' pintarnya manusia.

Aku jadi teringat waktu kecilku dulu. Sebagai manusia yang sudah pernah melihat alat-alat untuk membuat gedung bertingkat, alangkah primitifnya kami dulu. Pada saat itu rumah masih banyak yang terbuat dari kayu. Dan dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang bernama gedeg ato gedek (gak tahu nulisnya kaya apa :D). Waktu itu saya masih belum SD, tapi saya ingat bagaimana 'boyongan' rumah tempo dulu. Karena dindingnya bukan semen, anyaman bambunya bisa dilepas terlebih dahulu. Setelah dilepas maka yang tersisa adalah tiang-tiang penyangga rumah tersebut bersama atapnya. Oh alangkah portabelnya rumah jaman dulu :D.

Rumah tersebut mau digeser kurang lebih 10 meter dari posisi awalnya. Makanya proses 'boyongan' tersebut dimulai. Karena tidak memiliki teknologi, maka dikumpulkanlah tetangga-tetangganya untuk membantunya. Orang-orang pada berkumpul di sekitar tiang-tiang penyangga rumah. Dengan hati-hati mereka mengangkat tiang-tiang tersebut agar atapnya tidak roboh. Keseimbangan merupakan hal yang penting agar posisi tiang-tiang itu tetap sama. Hanya bermodalkan keringat, tanpa teknologi yang canggih, boyongan rumah tersebut pun sukses terlaksana. Biayanya pun hanyalah memberi makan pada para tetangganya dan teh pahit. Dan semua yang di situ pun terlihat gembira, saling bercanda.

Dan kemanakah perginya rasa 'gotong royong' tersebut? Hilangkah ditelan mesin yang meraung-raung? Saat lesung penumbuk padi telah tinggal kenangan, kemanakah perginya waktu yang biasanya digunakan untuk menumbuk padi? Manusia menginginkan hal yang lebih cepat, tetapi untuk apa kecepatan itu? Toh pada akhirnya ada juga yang bingung sendiri untuk menghabiskan waktu sisa dari kecepatan tersebut. Selain itu, hilanglah waktu untuk saling tolong menolong itu menjadi waktu untuk saling menggunjing atau bermalas-malasan di depan TV.

Kembali ke gerombolan semut, mungkin dalam keterbatasanlah manusia akan kembali melihat ke manusia lain. Dalam ketidakberdayaan mereka akan saling berpegangan tangan, meminjamkan pundak untuk tempat menangis bukannya saling berkompetisi utnuk hal-hal remeh temeh. Apakah banjir, tsunami dan bencana yang lain merupakan teguran dari Tuhan? Teguran dari Tuhan agar manusia saling membantu, saling bekerja sama bukannya saling menginjak? Lihatlah saat ada bencana, orang yang biasanya saling bermusuhan pun bisa menjadi seolah-olah tidak ada apa-apa di antara mereka.








Same Goods, Different Value

Seekor anjing yang jadi rebutan gono gini hingga sampai di persidangan, sebuah surat wasiat untuk menguburkan dia bersama ipodnya saat ajal menjemput atau bahkan perawatan kucing yang tidak kalah mahal dengan salon untuk manusia. Pada akhirnya barang bukanlah lagi dinilai dengan nilai barang tersebut, tetapi bergantung pada nilai imajiner, nilai abstrak yang ada di kepala sang pemiliknya.

Nilai yang sama akan memiliki arti yang lain bergantung pada siapa yang menilai. Apakah arti Rp. 50.000,- bagi para koruptor? akankah sama artinya bagi seorang buruh harian? akankah sama dengan cara tukang becak menilainya? dengan seorang PNS? dengan seorang petani? dengan seorang pedagang kelas pasar tradisional? Sebuah uang dengan kemampuan beli yang tetap, namun berbeda-beda penafsirannya. Berbeda bagi para pengusaha dengan buruhnya. Pejabat dengan rakyatnya. Jadi apakah arti uang 50 ribu? Antara aku dan kamu pun bisa berbeda arti.

Bahkan nilai yang sama dengan orang yang sama pun dalam kehidupan akan berganti-ganti nilainya. Apakah arti uang Rp. 20.000 di supermarket? dan berapa nilainya sekarang saat di depan kotak sumbangan? berapa nilainya saat di depan pengamen jalanan? berapa nilainya saat di restoran cepat saji? di warung tegal? di rumah makan padang? atau bahkan di restoran oriental?

Air putih yang tak berasa, apakah artinya saat kita di rumah? berapakah nilainya saat ia dihidangkan bersama minuman berkarbonasi? minuman kaleng? minuman botol? adakah ia bernilai? dan berapakah nilainya saat anda berlari-lari di tengah terik matahari? atau di tengah gurun pasir tanpa peradaban? tetapkah ia tidak memiliki nilai?

Dan anda bisa bertanya tentang nilai-nilai barang di sekitar anda, tentang artinya terhadap kehidupan anda. Tidak usah mendengarkan pendapat orang tentang nilai barang tersebut, tapi tanyakan pada diri anda sendiri. Bagaimana kenangan akan membuat benda-benda itu akan menjadi sangat berharga walaupun orang tidak menganggapnya. Pada akhirnya, nilai segala sesuatu tergantung pada diri kita sendiri menilainya. Tergantung pada pemikiran abstrak kita mengenai barang tersebut. Dan ingatlah, kenangan adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang berapa pun. Kenangan itu tidak akan bisa dihilangkan atau bahkan dibuat dengan uang 1 trilyun sekalipun.

Selasa, 03 Maret 2009

Hujan dan Kemarau

Sudah mau berakhirkah musim hujan? kalo gak salah, pas SD dulu musim hujan itu dari bulan oktober sampai maret. Maret berakhir, akankah hujan berakhir juga? Bagi anda yang tukang complain siap-siap aja ganti gerutuannya. Jika biasanya anda menggerutu, 'duh kok ujan sih, padahal kan mau ke.....', 'ujan lagi, ujan lagi, jadi gak bisa main aja !!!' dan gerutuan lain yang membuat seolah-olah hujan itu musibah aja. Bersiap-siaplah anda menggerutu, 'uh panasnya minta ampun deh, jadi males keluar rumah', 'uh debu kok beterbangan sih, bikin kotor aja' dan gerutuan2 lain yang membuat musim kemarau tidak lebih baik dari musim hujan.

Kalo musim hujan nggak enak, musim kemarau juga tidak, terus musim apa yang enak? Jangan jawab musim durian ya, it's OOT :D. Kenapa sih manusia kebanyakan menjadi tukang protes sama cuaca? Hujan salah, kemarau juga salah, terus maunya musim apa?

Bukankah kita sebagai manusia, yang katanya makhluk paling sempurna, seharusnya bisa beradaptasi dengan segala cuaca? Kenapa sih yang dipikirkan hal2 yang buruk saja tentang musim? Bukankah setiap musim dapat kita kendalikan menjadi sesuatu yang menyenangkan?

Bayangkanlah anda menikmati kopi hangat, susu hangat atau apapun minuman kesukaan anda yang hangat, setelah anda kehujanan. Bukankah musim hujan itu enak? Atau lihatlah langit yang begitu bersihnya setelah hujan? Bukankah itu indah?

Bayangkanlah anda meminum es jeruk, es teh ataupun apapun minuman dingin kesukaan anda pada saat hari terasa panas? Bukankah kemarau juga bisa menghadirkan kesegaran? Dan lihatlah matahari yang terbit atau tenggelam, bukankah itu sesuatu yang indah?

Sebagai manusia yang dilengkapi dengan akal, masa kalah sih kemampuan adaptasinya dengan hewan. Manusia bisa membuat payung, mantel, pakaian musim dingin atau musim panas, sedangkan hewan tidak. Manusia harusnya lebih kuat menghadapi perubahan cuaca.

Nikmatilah bergantinya cuaca dengan seenak-enaknya. Kalo anda membayangkan es di musim hujan dan membayangkan minum jahe di siang hari pada saat kemarau tentu sangat tidak enak. Tapi ingatlah, musim membawa kenikmatan tersendiri jika kita mau menanggapinya dengan baik dan tidak memikirkan kejelekannya. Jangan salahkan musim kemarau saat keringat anda begitu deras, tapi cobalah untuk salahkan diri anda yang panas-panas memaksakan diri memakai jaket :D. Jangan salahkan hujan yang membuat anda begitu bosan menunggunya reda, tapi salahkan diri anda yang tidak membawa payung. Bukankah ada ungkapan, 'sedia payung sebelum hujan' atau kah seharusnya diganti 'sedia umpatan sebelum hujan'?



Minggu, 22 Februari 2009

Dari Dua Bassist 90-an

Gak tahu kenapa sabtu-minggu ini lagi mengingat-ingat tahun 90-an. Nggak cuma masa kecil saja, tetapi juga tentang musik. Sebagai anak yang berkembang dan tumbuh di masa 90-an, jangan salahkan saya kalo bilang musik sekarang itu nggak sebagus dulu hehehe. Aku 'membesar' di saat celana SMP temenku banyak yang ditulisi AXL(padahal kalo depannya dikasih angka 1/2 bisa buat contekan ngukur luas segitiga :D), saat Nirvana lagi jaya-jayanya dan kemudian Kurt Cobain bunuh diri :((, saat lagu Creep lagi menghentak-hentaknya dan lainnya.

Saya nggak membahas musik disini, tapi akan membahas tentang dua bassist di masa itu. Pada awalnya saya penasaran dengan kabar bassistnya Nirvana, Krist Novoselic. Kenapa dia menghilang begitu lama? Akhirnya kubuka deh tante Wiki, dan akhirnya tahu lagi ngapain sekarang. Selain jadi bassistnya Flipper, dia menjadi politisi di Amrik sono. Dan dia punya blog di Seattleweekly. Penasaran kaya' apa sih tulisannya bassist yang pada jaya-jayanya dulu ngelempar bas mendarat di jidat itu, saya baca blognya. Nggak kebayang deh, gak tahunya tulisannya lumayan juga. Nggak kalah ama artis-artis Indonesia yang berani jadi Caleg :)).

Dan dari blog mingguannya Novoselic, saya jadi tahu kalo Duff McKagan (bassistnya GnR) juga punya blog di situs yang sama. Akhirnya saya baca juga tulisan-tulisan dari Duff. Setelah saya baca, tulisan Duff terasa lebih ringan dan nyante daripada tulisan Novoselic.

Setelah saya baca beberapa tulisan dari blog kedua pendekar bass 90-an, saya jadi agak terkejut dengan perubahan pada kedua orang tersebut. Pokoknya nggak kebayang deh bagaimana dua orang yang dulunya begitu 'ancurnya' bisa berubah di waktu sekarang ini. Seorang bassist dari 'most dangerous band in the world' dan seorang bassist yang suka ngancurin alat setelah konser bisa 'meredam' keliarannya.

Mengingat tahun 90-an, mereka berdua dulu musuhan dan bahkan sempat mau berkelahi di tahun 1992 pada acara VMA. Tetapi sekarang mereka menjadi teman dan dilihat dari tulisan-tulisannya, mereka hidup seperti kebanyakan manusia lainnya tanpa pernah merasa dirinya adalah pemain pada band besar di tahun 90-an. Jika dulu mereka saling menghina satu sama lainnya, sekarang malah saling memuji :D.

Tulisan Novoselic kebanyakan berisi tentang politik dan ada juga beberapa tentang musik. Dari yang mendukung Obama sampai kejadian VMA 1992 dia tulis. Dari tulisan di blognya, dia sudah jauh dari kesan sex, party, alcohol dan drugs seperti tag dari musik Rock di tahun 90-an. Sebagai seorang bassist, dia bukanlah pembuat sensasi di acara gosip murahan atau menjadi seorang pemabuk di atas panggung. Sebagai seorang politisi, dia memiliki pandangan-pandangan sendiri tidak asal ngikut seperti bebek.

Sedangkan Duff, dia banyak menulis tentang keluarganya. Dia menulis, saat anaknya masuk SMP, bagaimana ketakutannya terhadap pergaulan anak jaman sekarang yang melakukan free sex. Bagaimana kebingungannya dia saat menerangkan sex kepada anaknya. Dan beruntunglah dia, saat dia bingung merangkai kata, anaknya sudah bilang bahwa kebanyakan anak ngomongin sex hanya agar mereka terlihat sudah berkembang saja dan ia tidak perlu itu. Selain itu, dia juga menulis sebagai orang tua, dia merasa harus selalu berada di lingkaran pertumbuhan anaknya.

Dari dua bassist band yang 'terganas' di awal 90-an itulah banyak hal saya khayalkan sebelum tidur. Novoselic orang yang terkenal, tetapi dia mau merangkak dari bawah saat menjadi seorang politisi. Dia menguasai isu-isu yang dia perjuangkan, tidak melebar tetapi fokus. Akhirnya kepikiran sama artis-artis Indonesia yang biasanya memperjuangkan hal-hal yang klise tanpa tujuan yang fokus apa yang akan diperjuangkannya. Dan Krist melaluinya dari bawah dalam proses bertahun-tahun tidak seperti di sini yang tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba jadi Caleg nasional atau ikutan pilkada tanpa di gembleng, hanya bermodalkan popularitas.

Dari Duff, terlihat jelas bagaimana anaknya telah mempengaruhi cara hidupnya. Dia mau mengantarkan anaknya ke sekolah sendiri walaupun dia bisa saja 'membeli' pengurus anak untuk menjaga anaknya. Dia perhatian terhadap proses perkembangan anaknya walaupun dia dahulunya terkenal sebagai rocker yang 'liar'. Yang jelas dia merasa memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya. Dia menginginkan yang terbaik buat anaknya dengan ikut berperan serta di dalamnya bukannya malah tetap asyik menjadi selebriti tukang cari sensasi. Sebagai pemusik dari band yang ganas, dia mencoba untuk menjadi ayah yang baik. Dan seharusnya, para pemusik dari band-band yang 'tidak ganas' dan pemuja cinta, seharusnya bisa menjadi ayah yang lebih baik dari dia. Bukannya malah jadi tukang cari sensasi terus-terusan. Masa di panggung berkhotbah tentang indahnya cinta malah setelah punya anak cerai dan saling menjelek-jelekan di depan media pula.




Remembering, When I Was a Young Boy

Ada sebuah ungkapan yang kurang lebih berbunyi, 'bahkan masa lalu pun belum benar-benar pergi dari kehidupan kita'. Ya, memang masa lalu masih tersimpan di ingatan kita seolah baru kemarin saja terjadinya.

Bersama teman, kemarin-kemarin ngomong-ngomong tentang masa kecil sebagai bocah di kampung. Pas mau tidur malah jadi kepikiran, dan tanpa menggunakan mesin waktu, cuma bermodalkan ingatan, aku pun coba mengenang masa-masa kecilku di awal 90-an. Dan jujur saja, banyak sekali hal yang kini telah hilang. Begitu banyaknya hal yang berubah dalam waktu kurang lebih 20 tahunan.

Saya malah jadi rindu dengan suasana tahun 90-an. Tanpa telpon genggam, tanpa TV di setiap rumah (kalo sekarang sih malah di setiap kamar), mandi di sungai (bukannya karena pengin ngintip orang lho ya) dan seabreg permainan anak kampung(yang tak butuh listrik dan tak kenal kasta, karena gak pake modal uang).

Yah, masa itu memang boleh dibilang 'kuno' dibanding jaman sekarang. Tapi apakah semua hal yang kuno itu jelek? Justru banyak hal yang baik di masa itu yang sekarang telah mulai memudar. Dan salah satu hal yang sangat berkurang di masa itu dibanding dengan masa sekarang adalah interaksi sosial. Dan semakin berkurangnya interaksi sosial, manusia lebih terlihat individualistis.

Alangkah banyaknya waktu untuk berinteraksi di masa lalu. Tanpa TV di setiap rumah, orang-orang tanpa malu pada datang ke rumah tetangganya yang punya. Coba di masa sekarang, punya TV 14" aja sudah malu. Dan proses berkumpulnya orang-orang juga akan menimbulkan keakraban dan tanpa sadar, menghilangkan sekat-sekat perbedaan. Dan yang namanya menonton TV di jaman dulu, pasti ada waktunya tidak terlalu berlebih-lebihan. Kalo malam biasanya ya jam 7-10. Mau sampai larut malam kan tidak enak juga sama yang punya rumah. Beda sama jaman sekarang yang nonton TVnya sampai Over dosis :)).

Dahulu, tidak semua rumah mempunyai kamar mandi. Setiap sore banyak orang pada berduyun-duyun ke sungai. Saya juga kadang pergi ke sungai, apalagi kalo musim kemarau. Jarang sekali ada anak yang ke sungai sendirian. Mereka biasanya berangkat bersama-sama setelah bermain. Tak ada tempat VIP, eksekutif, bisnis dan kelas ekonomi. Semua orang bergabung menjadi satu tanpa mengenal status. Semua orang sama dan sederajat di sungai :)). Dan setelah dipikir-pikir, kenapa sih anak-anak jaman baheula yang mandi di sungai kok malah lebih teratur daripada anak jaman sekarang yang sudah memiliki kamar mandi di rumahnya? Anak jaman dahulu, setelah selesai bermain, mereka langsung bersama-sama mandi di sungai tanpa perlu disuruh orang tuanya. Beda dengan anak sekarang yang sampai ditanya kapan akan mandi. Secara logika seharusnya kan lebih enak jaman sekarang yang bisa mandi tanpa perlu jalan jauh-jauh ke sungai.

Tempat lain untuk berinteraksi adalah di angkutan umum :)). Ya, hampir semua orang dulu menggunakan angkutan umum. Di angkutan umum berkumpul orang saling berinteraksi. Di angkutan umum orang pada ketemu dan saling berbicara. Banyak orang dengan beragam profesi menjadi satu. Dan yang namanya anak sekolah, saling mengenal satu dengan lainnya di sini. Berbeda dengan jaman sekarang yang kalo di jalan bertemu orang paling hanya klakson yang bunyi tanpa ucapan "bagaimana kabarnya?", "dari mana" dan pertanyaan yang lain.

Dan pada waktu aku jaman SMP, telepon rumah pun masih menjadi hal yang langka. Tapi apakah itu buruk? Ada satu hal yang kadang membuat aku menggerutu di jaman sekarang saat HP sudah bertebaran. Aku masih ingat bagaimana dulu waktu janji dengan teman-temanku jika mau pergi bareng-bareng. Dahulu yang namanya janji, telat setengah jam saja sudah ditinggal. Dan rata-rata orang akan menepatinya. Beda dengan jaman sekarang. Janji biarpun sudah digodok semateng-matengnya juga banyak yang mengingkari. Janjian jam 10, yang datang jam 10 baru SMSnya. Orangnya masih entah di mana dan bilang suruh ditunggu. Kalo disuruh cepat ngomongnya sudah di jalan :)).

Yeah, dari berbagai ilustrasi di atas, di jaman 'kuno' dulu, orang memang tidak semudah sekarang. Tapi ada berbagai hal yang malah membuahkan hal-hal yang positif. Sewaktu aku kecil, uang tidak begitu menjadi pembeda. Toh yang kita mainkan senapan dari pelepah pisang, mobil-mobilan dari bambu, tulup dari bambu, petak umpet yang hanya bermodalkan jari, sawahan yang bermodalkan pecahan genteng dan permainan lain yang bahannya sudah ada sekitar kita tanpa perlu membelinya. Jika pun ada yang beli, paling hanyalah layangan yang kalo tak bisa membeli pun masih bisa buat sendiri. Tak ada yang namanya layangan bisa untuk membedakan kelas sosial.

Bandingkan dengan jaman sekarang. Kebanyakan anak-anak sudah terbawa status sosial orang tuanya. Interaksi bersama teman juga sudah tidak sebanyak dulu. Dan cara mereka berinteraksi juga berbeda. Jika saya dahulu bisa bermain dengan siapa saja, sekarang mereka biasanya bermain dengan teman yang secara ekonomi setara. Saya dulu bisa mengajak siapa saja untuk berenang, karena itu gratis di sungai. Kalo anak sekarang mau mengajak temannya berenang, pasti yang mereka ajak teman yang bisa beli karcis masuk kolam. Kalo saya dulu bisa main petak umpet dengan siapa saja yang mau ikut, anak sekarang hanya mau mengajak temannya yang mau paroan untuk ngrental PS. Anak SMU jaman dulu tidak ada yang namanya gengsi untuk naik angkutan umum (mana bak terbuka lagi :D), tapi anak sekarang motor butut aja udah kaya' aib.

Dunia semakin maju, teknologi semakin mutakhir. Tapi kenapa kelas sosial makin menganga? Sekat-sekat antara manusia lebih terasa dan manusia cenderung untuk individualistis. Jika dulu sore-sore orang mesti pada berkumpul dengan tetangganya, kenapa sekarang mereka lebih suka di depan TV untuk melihat gosip yang bahkan tidak pernah ketemu dengan orangnya apalagi mengenalnya. Apa yang ada di etalase toko adalah barang-barang yang akan membuatmu bisa bertahan di rumah terus tanpa berinteraksi dengan orang lain seharian. Apakah peradaban ini maju ke arah yang salah? Karena manusia semakin menarik dirinya dari interaksi dengan orang lain? Bukankah peradaban seharusnya mendorong orang untuk lebih saling tolong menolong dan saling berbagi kebahagiaan?





Minggu, 08 Februari 2009

Love Stories (In the Movies)

Abis Liat film, biar hari minggu nggak tidur terus kaya' biasanya. Pinjam film asal ambil saja, yang keliatannya lucu, eh setelah ditonton nggak tahu ceritanya mirip. Ceritanya tentang bagaimana dua orang yang saling mencintai akhirnya bersatu. Jangan menggerutu dulu trus bilang akhir dari film cinta mesti kalo gak bersatu ya berakhir tragedi. Ya...ya...emang kebanyakan film kisah cinta ceritanya mudah ditebak, unity or die .Tapi ini happy ending kok, gak ada yang 'terbunuh' karena cinta.

Ups...happy ending? Iyalah, lakonnya bisa merebut pujaan hatinya, ada yang pas di detik-detik pernikahannya, yang satunya lagi setelah ceweknya direstui oleh keluarga orang tua cowok saingannya. Yeah, happy ending buat lakonnya, kalo yang cuma jadi saingan si lakon sih nggak tahu endingnya kaya apa, biarpun dia nyebur kolam buaya, lompat dari lantai 3 atau minum baygon 5 botol pun kita sebagai penonton yang baik sudah gak mau ngurus .

Kebanyakan film emang 'mengajarkan' bagaimana cinta harus dikejar dan dipertahankan at any cost. Cinta harus diperjuangkan layaknya perang, dengan cara apapun, baik atau buruk bukan permasalah yang penting menang. Biarpun merebut istri orang, tunangan orang, pacar orang, kalo dicitrakan dalam film sebagai cinta sejati, sah-sah saja kita merebutnya. Kalo di film menilai 'cinta sejati' sangatlah mudah, pokoknya cinta antara dua pemeran utamanya ya cinta sejati . Tapi dalam hidup ini? It's complicated.

Dan sebagai pengkhayal sejati, akhirnya aku kepikiran dalam dunia nyata. Semua orang pasti pengin menjadi lakon yang 'memenangkan pertempuran'. Tapi apakah semua orang ingin menjadi seperti itu? Kalo saya sih jujur saja nggak pernah menargetkan diri saya untuk menjadi lakon. Bayangin saja merebut seorang perempuan di hari pernikahannya. Justru hanya orang yang sangat egoislah yang dapat melakukan itu. Bayangin saja, gak kasihan apa sama orang tua sang mempelai yang sudah ngadain acara sampe ngutang-ngutang segala dibelani . Apakah gak kasian juga ama calon suaminya yang sudah ngapalin ijab kabul nikah dan tetek bengek lainnya dari yang materi sampe yang non materi?

Daripada menjadi lakon yang seenak udelnya sendiri, mending jadi orang 'waras' yang ngalah saja untuk kebahagiaan orang lain. Apakah saya mengalami krisis kepercayaan diri sehingga memilih untuk tidak menjadi lakon? Tidak juga sih, malah mungkin memiliki kepercayaan diri yang lebih baik, karena percaya untuk mendapat penggantinya yang lebih baik. Tidak seperti para lakon yang merasa sudah mentok sama yang diinginkannya hehehe. Kalo nggak sama yang itu, dah gak bisa hidup .

Selain itu, dalam hidup dan dalam pilem juga banyak bedanya. Kalo di film, happy ending ya udah tidak ada kelanjutannya. Tetapi kalo dalam hidup, setelah proses 'happy ending' itu masih ada jalan yang sangat panjang yang harus dilewati. Dalam film, lakon itu telah bahagia, tetapi tidak ada kelanjutannya untuk esok. Dalam hidup? meskipun kita sudah jadi lakon yang memperoleh wanita yang kita 'persengketakan', jalan masih panjang. Bahkan dalam waktu 1 tahun, belum tentu sang lakon akan lebih bahagia daripada sang pemeran figuran. Bukankah kata orang yang berpengalaman (maklum aku kan gak berpengalaman), 'meraih cinta itu tidaklah sesulit pada waktu mempertahankannya'. Jadi kenapa takut untuk mengalah? Ini hidup beneran bukan cerita dalam pilem.

Di dalam pilem, sebuah kegagalan akan membuat anda menjadi loser dan tidak memperoleh kebahagiaan. Di dalam hidup, sebuah kegagalan tidak akan berarti apa-apa dan bisa memperoleh kebahagiaan di lain waktu. Syaratnya gampang, jangan anggap 'cinta' di dunia nyata ini seperti 'cinta' di dalam film. Bahkan di dunia nyata ini menawarkan lakon yang simpel daripada lakon di film. Berkenalan di suatu tempat, merasa ada kecocokan lalu langsung menikah. Tidak ada pihak yang disakiti, tak ada pengorbanan yang berdarah-darah, tidak ada orang ketiga dan semua orang merasa bahagia.




Senin, 26 Januari 2009

Initial X

Puisi ini sebenarnya ditulis setelah aku nonton film Initial D. Jadi inspirasinya dari film itu makanya tek kasih judul Initial X, cuma ya ditambah-tambahi bumbu versi saya sendiri. Maklumlah orang Indonesia.

dan luka pun menari dihidupku lagi
saat tubuhmu bukan hanya untukku
bahkan telah tersentuh
sebelum aku, yang tak pernah menyentuhmu

dan perasaan pun mengambang tak berpijak
saat hatimu hanya untukku
tapi bukan jiwamu
yang tak akan pernah kumiliki seutuhnya hanya untukku

saat kuteringat isi dikepalaku sejak dulu
sebuah wanita, hanya sebuah wanita
hanya seorang wanita yang kucintai, sampai matiku
dan kurelakan waktuku untuk semua itu dalam kesepian
agar hanya ada satu, tidak lebih, dan kurela menunggu

saat kutinggalkanmu menjauh
kurasakan perih
dan kuyakin aku akan lebih berarti untukmu
dari wanita manapun yang ada

bayangmu semakin menjauh
ku tahu aku pun semakin merindukanmu

dan kurasakan keegoisan dalam darahku
sebuah pertanyaan berputar-putar selalu
saat aku pun tak bisa menerimamu
bagaimana aku kan berharap pada yang lain

kurelakan lukaku menari untuk senyummu
itu lebih baik daripada kau dan aku terluka
dan tubuhmu kan kudekap hanya untukku mulai saat ini
walau aku bukan yang pertama
walau bukan hanya aku yang telah merasakannya
lebih baik menatap esok

dan ku hanya berharap
mulut-mulut itu menutup selamanya
seiring perginya masa lalumu
karena aku